Pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang berarti tenaga/kekuatan, proses, cara, perbuatan memberdayakan. Pemberdayaan (enpowerment) menurut (Wood:2001) adalah pengembangan mentalitas “mampu berkarya” yang bersumber dari keyakinan akan kemampuan sendiri untuk dapat berkarya pada pekerjaan yang dihadapi.
Pemberdayaan (enpowerment) merupakan suatu proses yang disengaja dan berlangsung secara terus menerus yang dipusatkan di dalam kehidupan komunitas lokal, yang meliputi: saling menghormati, sikap kritis, kepedulian, dan partisipasi individu, atau kelompok yang merasa kurang memiliki secara bersama sumber-sumber yang berharga sehingga memperoleh akses yang lebih besar untuk mendapatkan dan mengontrol sumberdaya pendidikan di lembaga.
Faktor-faktor yang mengindikasikan pemberdayaan (enpowerment) adalah: pendelegasian wewenang dan keleluasaan bekerja, peningkatan “Self Efficacy”(keyakinan akan berhasil meyelesaikan pekerjaannya), Modelling (keteladanan), Competency Building (peningkatan kompetensi individu) dan Emotional Support (dukungan dari pimpinan dalam pengambilan keputusan).
Dan harus dipahami bahwa menumbuhkan keyakinan pada seseorang dalam partisipasi aktifnya yang berupa pemikiran, pengambilan keputusan dan tindakan- tindakannya membawa dampak yang baik bagi lembaga.
Menurut (Richard L. Daft: 2010) bahwa pemberdayaan (enpowerment) adalah pembagian kekuasaan, delegasi dari kekuasaan atau kewenangan untuk bawahan dalam organisasi.(Empowerment is power sharing, the delegation of power or authority to subordinates in an organization).
Ada beberapa indikator pemberdayaan antara lain adalah: (a) Peningkatan “Self-Efficacy” Keyakinan mampu menyelesaikan pekerjaannya), (b) Peningkatan capaian hasil kerja (efektifitas), (c) Keleluasaan bekerja menggunakan kreatifitas yang dimiliki, (d) pemberian informasi, pengetahuan, kewenangan, dan imbalan, dalam melaksanakan pekerjaan. Pemimpin memberikan keleluasaan pada guru sebagai bawahan (lebih tepat sebagai mitra dalam lembaga) untuk meningkatkan kompetensi dan bekerja sesuai dengan kreatifitas yang dimiliki tanpa harus merasa risih, takut, enggan atau merasa terpaksa, apalgi dipaksa.
Pemberdayaan guru menyangkut dua pihak yang berkepentingan, yakni pimpinan dan bawahan (mitra), antara pimpinan dan tenaga pendidik dan kependidikan sebagai mitra, maka keduanya harus saling mendukung dan mendorong mengimplementasikan dalam pemberdayaan (enpowerment).
Pimpinan mempunyai kewajiban bagaimana seseorang merasa berdaya, diberi peluang, difasilitasi, dan diberi kepercayaan dalam pengambilan keputusan, meskipun guru diberdayakan untuk mengambil keputusan yang mereka yakini akan bermanfaat bagi organisasi, namun juga harus dapat dipercaya dan bertanggung jawab mengenai hasil-hasilnya. Akuntabilitas hasil keputusan harus dilakukan untuk memastikan bahwa guru telah bekerja sebaik-baiknya dan bekerja untuk mencapai tujuan yang sudah disepakati serta bertanggung jawab.
Pemberdayaan akan menjadi berhasil jika pimpinan melakukan pendekatan, dengan prinsip: (1) prinsip Kaizen dan "Just do it", perbaikan terus menerus, dan (2) pembangunan kepercayaan" Iklim lingkungan building".
Banyak cara yang dapat dilakukan pimpinan dalam memberdayakan sumber daya pendidikan, khususnya sumber daya tenaga pendidik dan kependidikan, secara khusus pemberdayaan guru dalam lembaga. Pemberdayaan tidak hanya kembali kepada orang-orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, kedekatan emosional, senioritas atau karena balas jasa. Pemeberdayaan (enpowerment) dapat diberikan secara merata kepada komponen guru baik yang dekat ataupun jauh dari kekusaan, yang senior maupun junior (bila boleh diistilahkan) sebab dari hal tersebut kita tidak pernah tahu tenaga pendidik mana yang memiliki kulitas, loyalitas atau royalitas, sehingga kemampuan yang dimiliki orang yang kompeten dapat disebar kepada rekan-rekan lain yang mungkin belum kompeten, dengan demikian akan terjadi transformasi skill secara merata pada unsur tenaga pendidik dan kependidikan yang ada pada lembaga dengan kata lain dapat pandai bersama-sama.
Ada empat hal yang harus dilakukan institusi atau lembaga akademik agar guru merasa diberdayakan menurut pendapat Nancy Langton and Stphen P. Robbins, (2007) yaitu :
- Harus ada definisi yang jelas tentang nilai-nilai dan misi lembaga
- Lembaga harus membantu guru dalam memperoleh keterampilan yang relevan sesuai kebutuhan
- Lembaga harus memberikan dukungan bukan kritikan jika guru mencoba melakukan sesuatu yang berbeda
- Guru membutuhkan pengakuan atas usaha-usaha yang telah dilakukan
Berdasarakan empat hal tersebut di atas, maka tenaga pendidik dan kependidikan yang diberdayakan dapat memberikan kontribusi terhadap keberhasilan pencapaian tujuan institusi satuan pendidikan jika sisi mental guru diperhatikan saat menerima tangungjawab dan wewenang, dan komitmen organisasi seperti memberikan keterampilan yang dibutuhkan, memberikan dukungan nyata bukan kritikan, juga pengakuan atas usaha yang diberikan pada satuan pendidikan.
Dimensi empowerment (pemberdayaan) juga dituliskan oleh McShane dan Von Glinow, (2010) yang terdiri dari empat dimensi empowerment, yaitu:
- Self-determination (Penentuan nasib sendiri)
Employees feel that they have freedom, independence, and discretion over their work activities, bahwa karyawan dalam hal ini tenaga pendidik dan kependidikan merasa bahwa mereka memiliki kebebasan, kemandirian, dan keleluasaan atas aktivitas kerja mereka).
- Meaning (Arti)
Employees who feel empowered care about their work and believe that they do is important, bahwa karyawan dalam hal ini tenaga pendidik dan kependidikan yang merasa diberdayakan peduli dengan pekerjaan mereka dan percaya bahwa pekerjaan mereka penting.
- Competence (Kompetensi)
Empowered people are confident about their ability to perform the work well and have a capacity to grow with new challenges, bahwa Orang yang diberdayakan yakin akan kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan dengan baik dan memiliki kapasitas untuk tumbuh dengan tantangan baru.
- Impact (Dampak)
Empowered employees view themselves as active participants in the organization, that is, their directions and actions have an influence on the company's success, bahwa tenaga pendidik dan kependidikan yang diberdayakan akan melihat diri mereka sebagai peserta aktif dalam organisasi, yaitu bahwa arah dan tindakan mereka memiliki pengaruh pada keberhasilanlembaga.
Konsep dimensi empowerment di atas, dapat diterapkan di satuan pendidikan, seperti memberi kesempatan guru dalam pengambilan keputusan hal-hal penting, seperti perubahan kurikulum, penentuan anggaran, penentuan kelulusan, penelitian (observasi), atau pengabdian pada masyarakat (observasi), Study tour, guru juga diberi kesempatan untuk kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, dipenuhi semua kebutuhannya, kesempatan mengembangkan model atau bahan rujukan, dan mendapatkan dukungan dari pimpinan serta guru lainnya.
Tenaga pendidik dan kependidikan harus diberi keyakinan bahwa apa yang dikerjakan penting dan memiliki pengaruh besar pada pencapaian tujuan satuan pendidikan, memiliki tantangan yang perlu mendapatkan perhatian, serta kesempatan dalam membantu satuan pendidikan untuk memiliki mutu yang lebih tinggi.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan atau empowerment adalah upaya pemberian wewenang dan tanggung jawab dari pimpinan (kepala sekolah) kepada guru untuk melaksanakan tugas secara kreatif dan inovatif dalam merespon berbagai perubahan yang dinamis sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Demikian tulisan kecil ini, semoga bermanfaat bagi penulis khsusnya dan para pembac, khususnya dapat memberikan wawasan baru tentang bagaimana caranya seorang pimpinan mampu memberdayakan secara maksimal potensi yang ada di lembaga.
Daftar Pustaka
Daft, Richard L. 2010. Era Baru Manajemen. Edisi Kesembilan. Jakarta Salemba Empat.
McShane, Steven L dan Von Glinow, Mary A. 2010. Organizational Behaviour- Emerging Knowledge and Practice For The Real World 5th Edition. New York: McGraw-Hill.
Robbins, Stephen P. & Timothy A. Judge. 2009. Organizational Behavior. 13 ThreeEdition, USA: Pearson International Edition, Prentice -Hall.